MENJADI SEORANG “SALES” DENGAN TANGAN, TELINGA DAN HATI YANG TERBUKA
Pengalaman tanpa sengaja sebagai
seorang Sales & Marketing di dunia Properti yang menjadikan saya mencoba untuk lebih
terbuka dan membuka diri dalam mendalami dan memahami arti kata dan makna dari “Sales”.
Sales atau Pemasar atau Salesman sering kali mempunyai konotasi
yang lebih rendah dibandingkan dengan bidang pekerjaan lain, sampai-sampai para
Fresh Graduate pun sering menolak
jika ditawari posisi sebagai Sales di perusahaan. Hal ini bisa dimaklumi dengan seringnya kita dihadapkan pada telepon, SMS maupun dihadang ketika
sedang santai berjalan-jalan di area publik oleh orang yang sedang menawarkan
produk, jasa ataupun pinjaman “tanpa agunan”. Stigma atau label ini sudah
berjalan bertahun-tahun.

Kegagalan kita dalam bekerja,
berkooperasi atau mendapat simpati atasan bisa berpangkal pada ketidakmauan dan
ketidakmampuan kita dalam berjualan. Berapa sering ide kita ditolak di tengah
jalan dan kadang membuat demotivasi atau bahkan menganggap atasan tidak
supportif semata-mata dikarenakan ketidakmampuan kita untuk menjual ide
tersebut. Banyak sekali perusahaan besar yang membayar konsultan ternama
tingkat dunia untuk membuat strategic
plan sangat canggih bagi organisasi mereka, tetapi pada akhirnya srategic plan tersebut berakhir di ruang perpustakaan karena
ketidakmampuan manajemen untuk menjual dan diimplementasikan ke seluruh insan.
Betapa seringnya visi misi organisasi yang demikian mulia sekadar menjadi
hiasan dinding karena mereka tidak berhasil “membeli” hati karyawannya untuk
menjadikan visi misi pribadi mereka sendiri. Sales is an exchange of value between two parties.
Jadi mengapa pandangan kita
terdorong ke arah yang negatif menghadapi salesman?
Salesman sering kali lupa bahwa sales is about the customer. Jadi bukan
apa yang diinginkan oleh Salesman untuk terjadi, melainkan apa yang dibutuhkan dan
diinginkan oleh pelanggan. Betapa seringnya kita merasa jengah dengan telepon
dari telemarketer yang langsung
menawarkan suatu produk dengan berapi-api lengkap dengan beragam manfaat dan
keuntungannya, padahal jelas-jelas sudah dikatakan bahwa kita tidak membutuhkannya.
Orang sering kali menilai sales yang
baik adalah mereka yang dapat meyakinkan orang lain bahkan sampai membuat orang
lain membeli sesuatu yang tadinya bahkan
tidak mereka butuhkan. Padahal, bisa jadi pembelian itu terjadi semata-mata
karena si pembeli tidak kuat lagi untuk menolak atau sekadar agar ia terbebas
dari si penjual.
Salesman yang baik haruslah
datang dengan tangan, telinga dan hati yang terbuka untuk benar-benar mendengar
dan memahami kebutuhan pelanggannya tanpa adanya agenda tersembunyi. Ia
harusnya memiliki etiket untuk membangun hubungan yang didasari oleh win-win solutions, Interaksi antara
penjual dan pembeli baiknya didasari atas ketulusan untuk mencari solusi yang
terbaik bagi kepentingan si pembeli.
Mendidik Pelanggan

Jadi salesman saat ini seharusnya menjadi partner para pembeli dalam
mencari beragam informasi yang dapat memberikan solusi terbaik bagi kebutuhan
pembeli. Salesman tidak lagi cukup
mengandalkan kemampuan persuasi tanpa konten yang cukup. Pembeli yang mengambil
keputusan sendiri mengenai apa yang mereka beli akan memiliki ownership yang lebih tinggi terhadap
produkinya dan mereka juga dapat menjadi ”sales-agent”
sukarela manakala mereka benar-benar puas dengan produk tersebut.
Sumber :
Eileen Rachman & Emilia Jakob - Experd Character
building Assessment & Training - Harian Kompas Sabtu 28 Maret 2015
Komentar
Posting Komentar